Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah
delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud)
dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang
ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik
“penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum
dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan”
serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut.
Tujuan
rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan
prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan
diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28
ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau
tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan
tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Delik khusus “penipuan” dalam UU ITE, baru
akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Revisi UU ITE
yang saat ini dalam tahap pembahasan antar-kementerian.
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”) tidak secara khusus mengatur mengenai tindak
pidana penipuan. Selama ini, tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam
Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”), dengan rumusan
pasal sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan
menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
Walaupun UU ITE tidak secara khusus
mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal
28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja,
dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sesuai
pengaturan Pasal 45 ayat(2) UU ITE. Jadi, dari rumusan-rumusan Pasal 28
ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP tersebut dapat kita ketahui bahwa
keduanya mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP mengatur penipuan
(penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP silakan simak
artikel Penipuan SMS Berhadiah), sementara Pasal 28 ayat (1) UU ITE
mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 28
ayat (1) UU ITE silakan simak artikel Arti Berita Bohong dan Menyesatkan
dalam UU ITE). Walaupun begitu, kedua tindak pidana tersebut memiliki
suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Tapi, rumusanPasal 28 ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam
Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Pada akhirnya, dibutuhkan kejelian
pihak penyidik kepolisian untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal
378 KUHP dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28
ayat (1) UU ITE. Namun, pada praktiknya pihak kepolisian dapat
mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 378 KUHPdan memenuhi unsur-unsur tindak pidana Pasal 28 ayat (1)
UU ITE. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi,
polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut. Lepas dari itu, menurut
praktisi hukum Iman Sjahputra, kasus penipuan yang menyebabkan kerugian
konsumen dari transaksi elektronik jumlahnya banyak. Di sisi lain, Iman
dalam artikel Iman Sjahputra: Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi
Elektronik juga mengatakan bahwa seringkali kasus penipuan dalam
transaksi elektronik tidak dilaporkan ke pihak berwenang karena nilai
transaksinya dianggap tidak terlalu besar. Menurut Iman, masih banyaknya
penipuan dalam transaksi elektronik karena hingga saat ini belum
dibentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan yang diamanatkan Pasal 10 UU ITE
Sumber : https://www.facebook.com/www.pengaduanpenipuanonline.co.id/posts/358089790961041
Tidak ada komentar:
Posting Komentar